Emas di Film Di Bawah Lindungan Ka’bah



Saya harus akui, film ini mampu membuat mata saya berkaca-kaca, meski tidak sampai tumpah air mata. Sangat jarang saya mengalami hal ini.
Adegan yang membuat saya seperti itu adalah saat Hamid mengantarkan ibundanya menghadapi sakaratul maut di atas pedati.
Adegan ini sangat mengharukan.
Namun, satu hal yang membuat saya termenung adalah saat ibundanya dengan isak tangis menyerahkan segenggam emas yang dibungkus sapu tangan kepada Hamid.
“Ini adalah hasil jerih payah emak yang dikumpulkan selama bekerja di rumah Tuanku Jaffar”.
Ya, emaknya Hamid bekerja sebagai pembantu di rumah orang kaya di desa itu.
Dengan isak tangis dan air mata berlinangan, Hamid menerima emas itu dan adegan itu pun berakhir dengan kepergian ibunda untuk selamanya.
Emas itulah yang kemudian mengantarkan Hamid berangkat berhaji ke Baitullah.
Saya teringat dengan kebiasaan orang-orang tua di kampung yang selalu menggunakan standar emas untuk setiap transaksi besar yang mereka lakukan, misalnya saat jual beli tanah, gadai, menyekolahkan anak, menikahkan anak, membangun rumah, hutang piutang.
Misalnya, ketika seseorang ingin menggadaikan sawahnya, dinilai dengan emas dengan satuan tertentu. Mereka menyebutnya “rupiah”. Bentuknya seperti uang logam berdiameter kurang lebih 2-3 cm dan dibelakangnya ada peniti dan sering digunakan sebagai bros yang disematkan di bagian leher baju kurung. Waktu kecil saya sering melihat nenek mengenakannya.
Ketika sawah itu digadaikan, misalnya senilai 2 rupiah emas, maka ketika dibayar pun sama nilainya dengan 2 rupiah emas itu. Tidak ada bunga. Jadi, yang meminjamkan tidak rugi karena inflasi atau nilai masa depan dari uang dan yang meminjam uang pun tidak terbebani “bunga”. Cara yang sangat sederhana namun smart.
Kebiasaan ini menurut saya begitu kuno dan ketinggalan jaman sampai akhir-akhir ini terbukti bahwa emas itu memang “sakti”.
Kepada seorang teman yang cukup menguasai sejarah dan budaya Minang, saya menanyakan bagaimana kebiasaan ini bermula.
“Dulu, nenek moyang kita itu banyak menggunakan gulden sebagai alat tukar”, jawabnya.
“Belakangan mereka menyadari bahwa nilai gulden itu tidak stabil, maka dipilihlah emas sebagai penggantinya”.
Sekarang, kapitalisme global sedang mengalami ujian berat, bahwa “uang” atau surat utang yang dicetaknya sudah tidak lagi perkasa. Terbukti ekonomi Amerika dan Eropa sedang sekarat dan mereka menyerbu mata uang kuno yang lebih aman, yaitu emas.
Untuk hal sederhana seperti ini, ekonom harus belajar juga kepada emaknya Hamid :)

comment 0 comments:

Post a Comment

Berbagi itu indah

Delete this element to display blogger navbar

 
© SAGA WEB TRAINING | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger